Tetesan air itu masih menetes terus dari pakaian yang tergantung di tempat jemur pakaian yang berada tepat di depan jendela rumah yang berukuran kecil. Desa itu selalu saja sepi seperti Desa mati. Suara angin yang merambat ke pepohonan dan ujung-ujung bangunan kayu yang tua itu terasa menyeramkan. Awan di situ pun terlihat gelap. Semilir angin itu pun terpaannya terasa asing dan berbeda dengan terpaan angin pada biasanya.
Lelahnya bukan main, 'hh ... Hhh ....' pemuda itu ingin berhenti dan mengungsi di salah satu rumah yang berjejer itu. Tapi kesemuanya terasa sepi dan ganjil. Hanya ada satu rumah yang terdapat pakaian basah yang menggantung di depan rumahnya. Nampaknya pakaian wanita dan pria. Pikir pemuda itu, "akankah kedatangannya diterima begitu saja tanpa ada syarat!" Dia pun punya keyakinan, "sehebat-hebatnya penerimaan, akan tetap ada harapan timbal balik dari setiap 'kebaikan' yang dibagikan cuma-cuma, setidaknya sepercik pujian dan semisalnya."
Dia mengurungkan niatnya. Jalan pun diteruskan, meski terseok-seok kakinya. Tak tahan lagi rasanya, bajunya pun sudah terasa lengket, bau, dan kotor. Lebih-lebih celananya. Tiba-tiba pandangannya mulai kabur, semua pandangannya terasa blur, macam bayang-bayang hitam putih dan gumpalan semut hitam, bergerak-gerak kanan-kiri, kanan-kiri, dan—,
'Gguubbbruuaak!'
Pemuda itu terjatuh. Suara jatuh tubuhnya terdengar oleh pemilik rumah paling dekat dengan posisinya jatuh. Padahal yang diharapkannya rumah yang terdapat jemuran yang masih basah di depannya.
'Kreek!'
Pintu rumah itu terbuka, lama juga penghuni itu keluar, dalam kesemuannya dia memandang pudar sosok yang bergerak lambat dan keluar dari rumah terdekat tempat dia terjatuh. Makin mendekat, dekat, dan sangat dekat, kemudian terasa genggaman kuatnya memegang ujung kain baju di kedua pundak, lalu diseret masuk menuju rumahnya. Saat itu tak ada lagi yang diingat, hanya merebahkan punggung lalu menutup mata, dan tertidur lelap, hati kecilnya bergumam, "Pulihkan sesaat, lalu lanjut jalan lagi."
- - -
"Tab! Ini pedangmu bukan?" Suara perempuan itu terdengar masih segar sekali di ingatannya. Saltab memandang kosong sesaat sosok perempuan yang bernama Nuske. "Mungkin Nus."
'plak!'
"Ceroboh! Kenapa sih kok jawabnya gitu!" Pukulan pedang kayu itu mendarat begitu saja di kepala Saltab, dan tak ada hasrat sedikit pun ingin menghindarinya, terima begitu saja lalu terbengong. Perempuan itu terlalu sering bersikap bagai emak-emak yang pakaiannya basah lupa diangkat karena hujan deras dan dirinya tertidur. Saltab hanya memakluminya terus-menerus tanpa marah dan rasa keinginan untuk membalas sedikit pun.
"Ayo berdiri lagi! Ini belum seberapa!" Bentakan itu pun sudah terlalu sering Saltab terima dari Nuske, sosok perempuan yang mengaku "cinta" dan akan terus melatih laki-laki yang dicintainya dengan latihan keras tanpa ampun. Saltab berdiri lagi dengan memegang pedang kayunya. "Yang erat! Dengan kedua tangan! Agak membungkuk! Kalau membela diri sendiri aja belum bisa, bagaimana caranya membela orang-orang tercinta dari jerat-jerat fir'aun yang sudah menjelma dalam banyak bentuk. Ini bukan waktunya santai! Gerakan satu ulangi 100×!"
Tertatih-tatih Saltab mengikuti instruksi Nuske yang kejam dan tanpa ampun. Saltab tak kuat lagi. Sekali lagi dia coba untuk berdiri, tiba-tiba pandangannya gelap, dan—,
'Gubbbraaak!'
Saltab terjatuh. Seketika itu juga dia terbangun dengan napas tersengal-sengal. 'hah! ... Hah ....'
"Gimana Nak, nyenyak tidurnya?" Tanya seorang Pak tua yang sedang sibuk dengan sebuah oretan-nya di meja kecil. Saltab belum bisa menjawab, matanya menyusuri keadaan sekitar. "Rumah apa ini, terlihat menyeramkan dan tua!?" Batinnya. Dia coba memikirkan kejadian yang menimpanya. Dia harus waspada karena dirinya bukan berada di daerah yang dikenalnya.
Pak tua itu bangkit dari duduknya. Oretan-nya ditinggal. Mata Saltab mengikuti arah ke mana dia melangkah. Saltab menduga dia akan segera ke dapur untuk mengambil sesuatu yang bisa dimakan pagi itu. Saltab melihat ini kesempatan untuk segera pergi dari rumah tua yang menyeramkan itu. Dia mencoba bangkit dari duduknya, 'Dreeeiitt! ....' lantai kayu itu berderit. Seketika Pak tua dari balik tembok kayu berteriak, "Diam di tempat! Jangan bergerak! Kamu terkena Papiloma."
Saltab terkejut, "Papiloma!" Batinnya berkecamuk. "Apa itu!?" Tanyanya lagi pada diri sendiri. Sebelumnya Saltab memang belum pernah tahu tentang Papiloma. Pak tua segera mendekati saltab dengan membawa bubur beras merah. Saltab mulai tergoda dengan aromanya.
"Kau takkan mampu berjalan lagi. Pulihkanlah dulu papiloma-mu." Pak tua itu menyodorkan dua mangkuk bubur beras merah. Saltab masih belum mau buka mulut untuk bicara dengan orang baru, tapi untuk masalah lapar, dia tetap bisa membuka tutup mulutnya.
Disambarnya langsung bubur yang tersedia di depannya. Pak tua kembali lagi ke meja yang dipenuhi oretan aneh yang hanya dia yang paham itu. Pak tua pun seolah tak peduli dengan saltab, mau dimakan atau tidak bubur itu. Dia hanya menyediakan, "jika tak berkenan, makanlah lantai kayu itu." Kata Pak tua dalam hati.
Lahap betul Saltab menyantap bubur beras merah itu, tak butuh waktu lama, dia sudah menghabiskan kedua mangkuk bubur itu.
'khzaahhh!'
Teriaknya. Saltab merasa tenaganya mulai datang kembali. Dia coba untuk berdiri dengan kaki yang kata Pak tua terjangkiti Papiloma. 'gubraak!' terjatuh lagi! Pak tua tetap tenang, seolah sudah mengerti kalau Saltab akan seperti itu.
"Tarik napasmu, keluarkan lebih banyak, simpan sedikit saja. Lakukan berulang, kalau kamu orang yang punya daya tahan tubuh melebihi fir'aun, papiloma akan terlewati dengan mudah dan singkat." Saltab masih dengan posisi duduknya, sebenarnya dia malas mendengarkan ocehan Pak tua itu, tapi mau bagaimana lagi, dia sedang berada di kawasannya.
Terpaksa dia harus bergerak, Saltab merasa ini bukan tempat yang tepat untuk belajar, "apa yang bisa diambil dari seorang tua bangka itu!" Batinnya. Dia mencoba untuk bangkit lagi—,dan 'gubbraak!' untuk kesekian kalinya Saltab terjatuh lagi.
Pak tua yang sedang sibuk dan asik tenggelam dalam oretan di atas meja kecilnya, sesekali menengok ke gelagat Saltab yang lebih nampak seperti orang bodoh yang tak punya telinga.
Pak tua bosan dan geram juga melihatnya terlalu bodoh dan seakan tak punya telinga. Didekatinya Saltab, "diam! Duduk bersila! Aku akan coba cari titik penyumbatan di punggungmu. Berhentilah jadi orang bodoh anak muda, sesekali perkataan orang tua layak juga diserap oleh otakmu yang masih belum tau apa-apa tentang dunia ini, khususnya Losema ini!"
Saltab kini mencoba memasang kembali kedua telinganya. Tapi tetap belum berkenan untuk bicara, dia masih sangat berwaspada dengan Pak tua. Curiga rasanya jika di tempat baru ada seseorang yang membanjirinya dengan perhatian dan pertolongan cuma-cuma. Karena biasanya, perhatian dan pertolongan kerap mengharap timbal balik, macam pendaurulangan sampah!
Tangan Pak tua terasa kasar di punggungnya, "aaakzzh! Sakit Pak tua!" Teriak Saltab memekik telinga siapapun yang mendengarnya, tapi tidak bagi Pak tua. "Sabar bocah! Ini ada gumpalan yang mengarah ke kaki, sekarang luruskan kakimu!"
Tanpa ba-bi-bu, Saltab dia menahan sakit totokan di punggungnya. Tak lama keringat deras mengucur dari tubuhnya. Tanpa berkata apapun, Pak tua pergi meninggalkan Saltab. Saltab menoleh, "lagi-lagi ke belakang!" Sejurus dengan itu gumpalan asap keluar dari sana.
"Apalah yang akan dilakukan Pak tua itu!?" Batin Saltab. Tak lama kemudian Pak tua datang membawa air yang sudah dituangkan ke gelas besar, kini air itu sedikit berasap. "Minun ini Nak! Tubuhmu butuh air hangat untuk menetralisir racun-racun Papiloma."
Saltab tak banyak bicara. Segera diminumnya air hangat itu. Sedang Pak Tua kembali ke oretannya. Saltab merasakan sesuatu yang berbeda terjadi pada badannya.
B e r s a m b u n g . . .
___
Pamulang-Jaln toll Cikampek.
Jum'at 1 Oktober 2021
halub©
Comments
Post a Comment