Skip to main content

Posts

Bela diri Fir'aun Bab 1. Menghilangkan Papiloma?

    Tetesan air itu masih menetes terus dari pakaian yang tergantung di tempat jemur pakaian yang berada tepat di depan jendela rumah yang berukuran kecil. Desa itu selalu saja sepi seperti Desa mati. Suara angin yang merambat ke pepohonan dan ujung-ujung bangunan kayu yang tua itu terasa menyeramkan. Awan di situ pun terlihat gelap. Semilir angin itu pun terpaannya terasa asing dan berbeda dengan terpaan angin pada biasanya.    Lelahnya bukan main, 'hh ... Hhh ....' pemuda itu ingin berhenti dan mengungsi di salah satu rumah yang berjejer itu. Tapi kesemuanya terasa sepi dan ganjil. Hanya ada satu rumah yang terdapat pakaian basah yang menggantung di depan rumahnya. Nampaknya pakaian wanita dan pria. Pikir pemuda itu, "akankah kedatangannya diterima begitu saja tanpa ada syarat!" Dia pun punya keyakinan, "sehebat-hebatnya penerimaan, akan tetap ada harapan timbal balik dari setiap 'kebaikan' yang dibagikan cuma-cuma, setidaknya sepercik pujian dan semisa

JALUR MAYOR MADMUIN HASIBUAN

hari itu pagi yang hampir menuju siang di jalan bekasi, Jl. MM Hasibuan, semua berputar sangat cepat. Kemarin rasanya sedang ngebut-ngebutnya kesana Kini hanya terpaku dan beku tidak kesana Ponpes Muttaqin Cirebon, 3 dara telah usai belajar Tapi terasa, seakan mereka masih disana Lagi-lagi, walau hanya sekedar lalui perempatan itu Raga terpaut rasa oleh mereka dan apa yang terukir Mereka atau aku yang mengukir rasa di jalan itu Sangat jelas dan terang, bahkan walau hanya sedikit mengingatnya Seperti masih kental dan tak mau usai oleh hilang serta lupa Mereka seperti selalu ada dan tak mau beranjak tua, Tapi diri ini telah tergerus keras oleh waktu, tak seperti sedia Waktu terasa sebentar bila bersamaku, Tidak bila bersama mereka, enggan pudar dan rusak Takut memanggil sejak pagi : "sini bersamaku lebih lama." Angin sore mengipas lembut wajah reot ini, menyadarkanku telah ditinggal mereka Masih tetap di jalan itu, jl mm Hasibuan. Aku tetap terima, dengan sekuat rasa dan etika.

Dengan diriku yang biasanya

       Hampir setiap tahun ada saja kendala, Memang satu paket yang tak bisa dipisahkan, Pria tua itu sudah berkali-kali melakukannya, Ia membuat resah keluarga di rumah, Dengan keresahan yang tidak biasa, Terutama dua anak pertamanya, Karena mereka berdua anaknya paling merasakan pahit getirnya perjuangan pria tua itu, Sedangkan ibu sudah terlalu kenyang dengan pola kehidupan yang sudah melekat kelat di pria tua itu.    Hoz dan Huz adalah dua anak pertama milik pria tua itu, mereka sedari kecil sudah lebih mengerti asam garam orang tua mereka, Hoz seorang anak laki-laki yang biasa jadi ruang curhat pria tua itu atau Hore. Seorang ibu bernama Huis, Ia pun tak lupa suka menumpahkan segenap keresahan yang dirasa akbiat ulah Pak Hore. Hoz bagai bak besar penampung curhatan mereka berdua.    Hoz juga merasa bingung dengan keadaan yang ia rasa, "Bagaimana aku bisa seperti ini, linglung kemana aku harus berpihak, dengan diriku yang biasanya bisa menerjemahkan kedua keluh kesah mereka, t

KEBERADAAN MATA!

    Maaf, Atas Keberadaanku!    Pergiliran waktu memang terasa begitu dekat dan cepat, pergi pagi tak terasa sore sudah menanti. Begitu kapal berlayar tak lama ia pun kan kembali, tapi kembali bukan suatu kepastian. Yang pasti adalah ia pergi dan belum tentu kembali. Bila itu terjadi, jangan menganggapnya sebagai pemberat hati. Kuatkanlah langkah, jangan pongah tanpa menengadah pinta kepadanya selamanya dan kapan saja.    Apul aisu nama panggilannya, biasa dipanggil dengan panggilan akrab Aps. Dia seorang pekerja daerah, daerah perumahan sebagai tukang sapu. Sudah memiliki Istri (Ag Uamitam) dan satu anak (ngaruk tiseg). Anaknya yang baru berumur satu tahun itu, suka tak terurus dikarenakan aps memang mendapat istri yang enggak sabaran, bila sedang menyuapi anaknya dengan bubur dia langsung emosi, sebab Si ngaruk otomatis nangis berontak menolak disuapi bubur. Namanya juga anak bayi.    "Anata* panggilan sayang bahasa jepang. Kapan kita berubah, hidup kita kok flat gini trus seper

KETIKA USIA MULAI MENUA

Mata tak lagi menyala seperti sedia kala Karena memang bukan lagi di usia muda yang menyala Kenapa, kenapa, dan trus kenapa yang ditanya Selalu menyalahkan yang di muka Padahal salah itu milik bersama Malu, malu tak lagi menjadi primadona jiwa Maka raga pun bertingkah seperti bukan manusia Salah, semua dianggap salah, usia yang sia-sia Tidak ada, selalu rupa yang dijadikan tujuan semata Lupa, lupa dirinya belum, bahkan tak pantas raih rupa Ketika usia mulai menua, raga tak lagi kuasa seperti muda Banyak hal yang tak bisa dicerna, karena usia jadi tak kuasa Tangan yang dulu kuat menyapa kini dipapa Bicara yang dulu lancar, kini sulit untuk diterka Pendengaran yang biasanya awas, kini lepas bagai kapas _______________________ hlb©  25-26 Mei 2021 @Pamulang

SEPOTONG KECERIAAN GETIR

Teriakaan itu tidak bersuara, hanya bisa di rasa Dialirkan oleh bahasa tubuh yang nampak di mata Bukan untuk dia, tapi kita semua Prakata dusta, yang tanpa bicara pun sudah terasa Lebih menganga lagi, ketika diangkat oleh kata Nusuk di dada seperti untuk selamanya Penolakan itu jelas sekali sampai ke ubun-ubun kota Hanya saja mereka hanya trus berpura-pura Padahal dusta itu sudah pasti akan terasa Kecerian getir nan dusta Kemana kau larikan jujur-mu? Sepotong keceriaan getir itu sangat terasa dijiwa walau tanpa kata Semua yang disembunyikan, menyumbul sendiri tanpa diminta Lagi-lagi dia yang ingin tapi tak tahan konsekuensi cerita Semua kita pasti berbeda, buktinya "sidik jari kita!" Lalu, mengapa kau sangat inginkan takaran harta mereka? Esoknya mereka pergi tanpa tersisa! Lantas, mengapa kepergian mereka tidak kau damba? Ternyata kau hanya ingin harta tanpa usaha dan deritanya! Memalukan! Menyedihkan!  Lupakah kau itu siapa !? _________________________ hlb© Senin, 24-Mei-20

Agar dirimu bisa menjadi diri sendiri

    Haluan dengan segala macamnya, pengaruh orang-orang yang sebenarnya tidak wajib diikuti, hanya karena menurutnya benar, lagi-lagi dengan alasan kalau begini nyaman lho, dan dengan segudang "kalau begini dan begitu" yang tak pernah bertepi.    Dimulai dari; teman terdekat yang seakan memikat tapi itu semua hanya gelagat yang membuat sakit, keluarga, tetangga, semua seperti kumpulan dusta yang penuh sengsara. Hanya sedikit yang tanpa dusta.    Didepan memang seakan mendukung penuh, nyatanya hanya kumpulan drama yang tiada lawannya. Tak mengapa, memang dunia begini adanya.     "Tidak kok, kamu tidak salah." Hanya kata-kata pendingin dari sekian banyak udara panas yang memang tak bisa lagi dibendung, hanya saja dia mengira dinginnya tidak pura-pura dan tidak kentara, padahal semua sudah terbaca sedari awal.     "Jakarta panas, mending disini. Kalau di Jakarta pake AC sih ga ada masalah. Disini aja keringetan." Akhirnya sedikit tapi pasti, pelan-pelan, satu