Dini hari Pak Darto dan istrinya Bu Lasmi, biasa berbincang lepas di teras, kebiasaan yang telah lama mereka lakukan sebelum keberangkatan Pak Darto ke pasar. Sambil menyajikan sarapan dan kopi panas, mereka biasa bercerita lepas, mengenang masa lalu mereka yang telah berlalu jauh, mulai dari anak yang masih kecil sampai punya cucu sekarang ini, mereka seakan tak pernah mau melupakan kenangan itu.
Tapi pagi itu Bu Darto merasa ingin lebih lama lagi berbincang tentang kenangan mereka, bahkan entah mengapa Bu Darto merasa berat melepas keberangkatan suaminya hari itu.
"Pak endak usah berangkat ya, disini aja temani ibu, kita ngobrol-ngobrol lebih lama lagi, kan sehari engga ke pasar engga apa-apa?"
"Aduh bu, aku kalau engga ke pasar tanpa alasan yang mendesak, tidak bisa bu, bisa-bisa sakit aku kalau tidak berangkat ke pasar. Memang ibu kenapa sih tiba-tiba melarang gitu, kan sudah lumayan lama tadi kita bercerita, bahkan hampir tiap pagi kita bercerita, bernostalgia bersama."
"Engga tau Pak, aku rasa berat hari ini kalau Bapak pergi ke pasar, ingin rasanya kita bercerita lebih lama lagi, kalau bisa seharian ini aja, aku sedang kangen-kangennya mengingat masa-masa kita awal menikah, ketika baru punya anak pertama, kedua, dan ketika di anak kedua Bapak kan pernah bilang juga '2 anak cukup ya bu,' nyatanya kita punya anak sampai 3, Bu Darto tertawa kecil kekeuh menahan suaminya agar tidak berangkat ke pasar.
"Heleuh... Si Ibu, kita kan sudah cukup tua, sedikit saja ceritanya, tiap pagi sebelum aku berangkat kan cukup, yang penting konsisten cerita dan nostalgianya."
Raut wajah Bu Darto berubah drastis dari yang tadinya tertawa kecil menjadi cemberut hampir mewek, seperti anak kecil yang belum dituruti keinginannya.
"Ya sudah kalau Bapak tetap tega, dan dari pada nantinya sakit karena endak kerja, ya sudah hati-hati ya dijalan, jangan lupa itu barang dagangan dan bekalnya."
Pak Darto pun merasa heran dibuatnya pagi itu, mengapa sih istrinya tiba-tiba bersikap seperti anak kecil saja, tapi dia berusaha tetap berpikir dan mengira yang baik-baik saja.
"Bu... Sudah ya, aku berangkat dulu..."
"Iya Pak, hati-hati ya, jangan lupa ..."
"Lupa apa bu..."
"Sudah tidak ada, hati-hati aja ya di jalan, jangan lupa dzikir."
"Haha si ibu nih, udah punya cucu 3 juga, masih aja bercanda trus."
****
Pak Darto berangkat dengan ontel tuanya, bersama barang dagangan dan juga bekal dari istrinya, walaupun mereka berdua telah berusia senja, kehangatan, kecintaan, sense of bonding, masih sangat kental, seperti pengantin baru saja.
Pak Darto hari itu mengayuh dengan sigap, dibuat melaju kencang sepeda ontelnya,
Sumilir angin subuh yang menerpa tak goyahkan goesannya. Semakin kencang,
Karena merasa sudah telat beberapa menit setelah berkutat dengan istrinya.
Sikap istrinya dengan raut tak biasanya trus mengusik pikirannya,
"Kenapa ya dia hari ini, agak berbeda, tidak seperti biasanya,"
Kayuhan sepeda ontel makin kuat dibuatnya, hingga ia lupa rem sepedanya belum di ganti dengan yang baru, ia tetap melaju hingga tiba pada sebuah tikungan tajam dari arah yang berlawanan tampak sebuah truck besar dengan kecepatan setan, Pak Darto dibuat tak berkutik dengan keadaan itu, dengan segenap kekuatan sisa yang ia punya, ia coba banting stir sepeda ke kiri, tapi apa daya truck itu begitu cepat bagai setan yang berlari ketika medengar adzan.
Pak Darto terserempet truck besar itu, walau ia sudah berusaha menghindar, tetap saja, ia terpental jauh ke sawah, semua barang dagangan, bekal dari istri tercinta, jadi berserakan. Ia baru sadar ternyata ini yang di firasati oleh istrinya, Pak Darto berusaha bangkit tapi luka itu terasa seperti membakar tulang-tulang tuanya, hingga tak sadarkan diri, ia tergeletak dengan luka yang begitu banyak di tangan kanan, muka, dan kakinya.
Seorang supir pun tau kalau dia telah menabrak seorang kakek tua yang tengah mengebut di jalan raya pagi itu, ia merasa bersalah dan harus bertanggung jawab karena telah memacu trucknya dengan kecepatan setan di jalan pedesaan yang tidak begitu luas. Supir truck pun turun, sambil berlari, bersegera mendekati Pak Darto.
"Astagfirulloh... Pak Darto ternyata, ya Allah udah gila aku ini, Astagfirulloh... Pak .. Pak.. Pak..
Ya Alloh dia tidak sadarkan diri,"
dengan sekejap warga sudah ramai berkumpul menghampiri titik kecelakaan pagi itu, beberapa orang diantara mereka dengan cepat menghampiri supir dan Pak Darto.
"Astagfirulloh... Ya Allah ya rabb... Merinding aku ngelihatnya, Banyak sekali darahnya, ayo sudah Pak supir kita angkut saja korbannya ke rumah sakit terdekat, semoga aja masih bisa di tolong, kata salah seorang dari mereka."
"Iya Pak, tolong bantu angkat ya,"
dengan rasa cemas dan raut muka yang tak karuan, si supir mengangkat tubuh Pak Darto yang bersimpuh darah.
****
Istri Pak Darto makin gelisah saja setelah melepas kepergian suaminya, ia bolak-balik ruang tamu - pintu depan, pintu depan - ruang tamu. Haduh kenapa aku risau sekali hari ini, tidak seperti biasanya. Akhirnya istri Pak Darto berdiri di depan pintu rumahnya sambil menatap jalan melihat warga yang berlalu lalang, pandangannya kosong dan lesu, lemas sekali hari ini rasanya, ada apa ya, semoga Bapak baik-baik saja.
Tiba-tiba Salah seorang warga menghampiri rumah Bu Darto dengan tergopoh-gopoh.
"Bu ... Bu ... Bu Dartooo ..."
"Eh ...ada apa teriak-teriak, aku dengar kok, kenapa Bu."
"Itu bu..."
Ibu itu pun lemas tak kuat tuk sampaikan pesan itu, air mata pun mengalir di pipinya.
"Eh eh.. ada apa si Bu, kok tiba-tiba nangis gitu."
"Pak ... Dar..to .. Bu.."
"Iya kenapa Pak Darto, tadi dia barusan berangkat kok, dia juga sehat-sehat saja."
"Bapak kecelakaan Bu, tadi keserempet truck besar, hingga terpental ke sawah, sekarang sedang di bawa ke rumah sakit."
Bu Darto terdiam lesu, ia yang tadinya berdiri, tiba-tiba saja terduduk lemas di depan pintu. Ibu yang datang tadi memegang pundak Bu Darto, untuk berusaha menenangkannya, tapi apa daya air mata Bu Darto pun mengalir, dengan terisak-isak ia menangis. Dengan tubuhnya yang melemas dan air mata yang mengalir, ibu itu memeluk Bu Darto supaya tabah atas kejadian yang menimpanya.
"Bu yang sabar ya, aku juga ikut sedih banget Bu, kita di desa ini kan semua sudah seperti satu keluarga, rasa sedih yang Ibu rasakan, aku pun merasakannya."
"Padahal tadi pagi aku baru aja ngerasa berat, sangat berat melepas Bapak supaya tidak berangkat dulu ke pasar, apa daya semua telah terjadi, tapi yang paling penting aku harus yakin ini semua sudah di atur oleh sang maha kuasa."
Cerpen ke 19 (tugas kmco ke 4, angk 58).
//Butuh lanjutan ?//
Hlb @rtd, sel 27 apr 2021.
Renew rab, 28 apr 2021
Jp : • Perpisahan itu dekat
Jk : • Andai kita tau hari esok (bermanfaatkah pengetahuan kita ?)
....
Comments
Post a Comment