Mencari arti hidup
Bapak pergi dini hari, sebelum anggota keluarga terbangun dari mimpi indahnya. Di benak Bapak hanya bagaimana keluarga di rumah bisa berbahagia seeutuhnya, meski dirinya penuh luka. Bagi Bapak luka hanya hal sepele yang bisa sembuh seketika ketika melihat keluarganya bahagia. Tapi tidak sedikit perjuangan Bapak dianggap remeh lebih remeh dari serpihan bekas gigitan kerupuk di warteg.
"Wah, apa terlalu pagi ya ?" Ingin pamit dengan mereka tak tega rasanya, karena mereka baru saja tertimbun lelah yang begitu bertumpuk.
"Sudahlah aku berangkat saja," biar mereka pulih dulu, mungkin esok hari, atau sampai mereka pulih betul.
Bapak pergi, tanpa membangunkan Istri dan Anaknya. Ia siapkan sendiri perbekalannya. Tak lupa peralatan mandi portablenya. Kali ini juga harus lebih awal berangkat ke tempat kerja baru bagi si Bapak, agar lebih dulu beradaptasi lingkungan sebelum per-orangan.
Sepeda hijau itu sudah siap menanti Bapak di garasi kendaraan, Bapak memang lebih suka naik sepeda daripada mobil atau pun motor. Ia lebih suka terlihat sederhana, baginya buat apa pamer sarana nyatanya belum bisa berbuat apa-apa. Itu benar-benar bukan gayanya Bapak.
"Eh Bapak, pagi sekali berangkatnya ?" Sapa Penjaga Sekolah.
"Iya Pak, Saya baru, Guru baru disini. Oh maaf dengan bapak siapa saya berbicara?"
"Oh.. hoho. Saya Bapak Do'eng, Pak. Kalau Bapak Siapa ya namanya ?"
"Saya Bapak 'Adon,' Pak, Oh ya Bapak Do'eng datang jam berapa ya ke sekolah ? Ini kan masih jam 6 pagi."
"Ha ha ... Saya tidur disini Pak Adon, Iya saya pulangnya sebulan sekali, Keluarga jauh di kampung, Pak." Dengan suara khasnya Pak Do'eng sedikit tertawa, He..He..He
Bapak Adon diam, ia merundukan kepalanya, sambil bergumam dalam diamnya, sedih juga Bapak Do'eng ini, aku tiap hari bisa ketemu dengan keluarga, walaupun harus keluar rumah pagi-pagi sekali. Mengapa aku banyak sekali mengeluh daripada berterima kasih kepada Tuhan. Seharusnya aku sadar ternyata masih banyak tak seberuntung diriku.
"Baik Pak Do'eng saya ke ruangan dulu ya."
"Eh sebentar Pak, itu kuncinya belum saya buka, ayo mari Pak biar saya antar."
Ini ya ternyata sekolah yang aku telah curahkan sebagian perhatianku agar bisa di terima disini. Tidak buruk, lumayan, tapi apakah aku bisa beradaptasi dengan cepat ya nantinya, gumam Pak Adon.
"Baik Pak, terimakasih ya atas bantuannya."
"Iya Pak sama-sama."
Baiknya nanti aku persiapkan dari sekarang. Hendak bicara apa aku nanti bila diperkenalkan di depan umum atau ketika aku baru berbaur ke kelasku nanti. Berat tidak berat ya, tapi sudahlah di jalani saja, lebih berat lagi kalau aku hanya jumud saja, setidaknya aku bergerak dalam perjuangan, ya walaupun perjuanganku hanya bernilai kecil, daripada tidak berjuang sama sekali. Pak Adon mencoba menenangkan dirinya yang tengah masuk lingkungan baru.
Jam berdetak kencang, semakin cepat ia memutar waktu, meskipun waktulah yang menggerakan jam itu. Jam telah menunjukan pukul 6.30. Orang-orang mulai datang berduyun-duyun. Bapak berkumis itu datang dengan santainya memasuki ruangan tempat Pak Adon duduk berdiam diri di depan bukunya.
"Wah ini Pak Adon yang akan mengajarkan Bahasa Arab itu ya?"
"Iya Pak, betul. Kok tau ?"
"Kan sebelum Bapak di terima disini, Kepala sekolah pernah bilang ke kita semua para guru, kalau kita akan kedatangan tamu, seorang guru Bahasa Arab. Guru yang dulu udah pergi Pak, ke Arab, dia keterima jadi Imam di Saudi sana, Bapak tau kan namanya, sempat di wawancara oleh wartawan kalam sindo. 'Ust Ujang namanya,' sahut Bapak yang baru datang itu.
"Bapak, maaf dengan Bapak siapa ya ini ?" Sahut Adon.
"Oh iya, Saya Bapak Feeder good, panggil saja 'Pak Fid,' sahutnya.
Semua pelajaran di sekolah itu selesai pukul 13.30. Pak Adon segera pulang menuju rumahnya, di perjalanan ia mengingat-ingat kembali nama orang-orang yang telah ditemuinya. Pertama Bapak Do'eng satpam sekolah, kedua Pak Fid. Perkenalanku dengan anak-anak pun berjalan lancar. Tinggal 'Apa kabar Rumah dan Penghuni rumah ?'
Sesampainya di Rumah, Pak Adon mendapati Istrinya diam saja, anaknya yang berumur 1 tahun sedang asik sendiri dengan mainannya. "Bun ... Kok diem aje, kaga disambut pisan sih Ayah pulang?" Iseng Pak Adon menyapa.
"Apaan si, yah, kenapa si Ayah pulangnya lama banget? Emang Ayah ga bisa nyari kerjaan yang dari rumah aja !?
Bosen tau yah, di Rumah cumen nonton tv, ngurus si bodut, tuh tadi bodut rewel dia, karena Ayah ga pamit dulu si." Ketus Bunda.
"Aduh bunda, kok gitu sih responnya, ini Ayah udah rela-rela in lho pindah dari tempat kerja yang lama supaya kita bisa tinggal bareng, Ayah tuh heran deh sama bunda, kenapa sukanya ngeluh..ngeluh.. dan ngeluh troos, emang engga bisa ya bersyukur, coba lihat deh orang yang lebih parah dari kita, tidur di kolong jembatan, anaknya belum makan, ketika Ayah di tempat kerja lama, Bunda ngeluh karena gajinya kecil-lah, gak cukup-lah. Giliran udah Ayah usaha-usaha-in cari tempat kerja yang gajinya lebih banyak + dapat tempat tinggal. Masih juga merasa paling menderita truss !! Emang Bunda maunya apa !!?"
"Yee...ga usah ngegas juga kali !! Baru dapat tempat kerja yang lebih banyak sedikit + dapat tempat tinggal aja udah sombong !! Aku tuh udah cape ngurusin anak dari pagi sampai sore, udah ngelahirin dia, baru dikeluhin kaya gitu aja, emosi, harusnya aku yang emosi, jadi laki kok melehoy amat!!"
Bapak Adon ambil sikap diam, dia berusaha telan bulat-bulat omongan pahit istrinya, ia segera berkemas ke kamar mandi, ambil wudhu dan sholat 2 roka'at, dilanjutkan baca Al-Qur'an, dia tidak ambil pusing.
"Sekiranya Bunda gugat cerai pun tak masalah, aku yakin masih ada wanita yang benar-benar tulus dan setia yang menantiku, yang terpenting aku sudah berusaha sebisa yang aku bisa, sebelumnya aku pun telah menyerahkan semua pada yang Maha Kuasa." Gumam Pak adon dalam do'anya.
Cerpen 23
3 hari nulis gini aja, kurang baca bnget nih halub.
Selesai di Purbalingga, sebrang rumah sakit umu hani.
Comments
Post a Comment