Kita pendusta
Untuk sekian kali-nya aku, dia, mereka, dan kita semua berkumpul pada suatu kesempatan bersuka cerita bukan ria dan ceria, kita bercerita banyak hal tentang-nya, tentang aku, tentang mereka, dan tentang kita. Setelah sekian lama bercerita ternyata kita hanya terlalu banyak membuat dusta nestapa yang jauuuh disimpan di dalam dada yang tak ada bisa menerka, untuk apa harus dusta lagi?
Ketika bicara perihal bahagia, tidak sedikit yang berkata bukan dari apa yang berasal dari hati-nya, hanya untuk drama dusta yang sebentar lagi koma,
Bicara bahagia hanya dari mulut kotor dan dusta,
Berulang kali, bukan yang ketiga kali-nya, ini realita.
Tiga tahun, enam tahun, sembilan tahun telah berlalu, ternyata dusta masih tetap menjadi menu yang paling disuka ketika bercerita, atau ketika menampkan kebahagian yang palsu, drama dusta, kata dusta, dunia dusta lebih dicinta dari yang tidak terlihat tapi lebih nyata,
Semakin dekat, semakin saling mengenal siapa diri ini sebenar-nya, dan ternyata semakin akrab dengan diri ini, semakin kurang ajar terhadap diri sendiri, semakin tidak ada lagi etika, padahal untuk diri sendiri, lagi-lagi dusta tetap menjadi suplement favorit untuk diri sendiri.
Dunia, engkau telah banyak berdusta, "tidak, tidak ada dusta antara kita", hanya ada kamu yang bodoh wahai manusia,
Kebodohan-mu selalu dimanjakan dari tahun ke tahun, padahal kamu tahu aku pendusta, dan ingat penghulu-nya para pendusta, bukan pendusta yang baru lahir.
Dunia, aku tidak mampu mengalahkan diri sendiri, bagaimana aku tidak termakan dusta yang kau perbuat?
Manusia, untuk apa kamu adukan kelemahan-mu kepadaku, itu sungguh tidak akan bermanfaat buatku, aku sudah tahu sejak lama kalau dirimu lemah, dan bukankah kamu tau kalau aku ini penipu nya tukang tipu,
Lupakah kamu, lalai kah kamu ? Atau kamu sudah berada dalam tipuan dan segala jebakan ku, naif sekali, sungguh, betapa lemah nya diri mu, wahai manusia,
Aku menaiki tangga sebuah gedung kosong sambil mengikuti arahan suara yang tiba-tiba muncul, ku telusuri ruangan demi ruangan, nihil tidak ada sama sekali, halusinasi atau tipu-tipu bekas film horror, dan ternyata aku tersadarkan diri, bahwa aku sedang melamun dusta, membayangkan horrorisasi dusta
Semua duka, semua rasa bisa hilang tanpa biacara, tapi dusta tidak mudah ia hilang dengan duka yang biasa, dengan rasa yang biasa, dengan diam yang lebih rendah dari biasa,
Dusta bila sudah bersarang di diri ini, ia seperti merasa ini tempat tinggal yang pertama dan yang terakhir,
Sangat Sakit terasa ketika memaksa trus menetap di dalam dusta, diri ini hanya kita yang tau, dustanya, jujurnya, sayangnya akui diri pendusta di depan manusia tak ada kuasa, tapi bila sedang sendiri, semua tampak begitu jelas menganga dan penuh dusta,
Tempat dusta, waktu dusta, perkara dusta. Hanya diri yang lebih tau, mengapa harus berdusta, padahal dusta itu menyakitkan,
Lebih-lebih ketika dustai diri sendiri,
Bagaimana kabarnya bila diri sendiri saja sudah biasa didustai, manusia bukan hal yang sulit, bila sudah terbiasa menyiksa diri, yang lain tinggal dihampiri dan dihempaskan.
Salah prediksi, dikira mampu ternyata buntu akhirnya, dikira bisa ternyata nestapa, biar nestapa jadi teman nyata yang setia, daripada dusta.
Keadaan mana lagi, tempat mana lagi, kapan lagi melakukan dusta tanpa malu-malu, diamlah seperti batu, yang tidak pernah punya mimpi dan cita, tapi tetap berguna.
Batu mana yang tak kunjung diabaikan, tetapi hidupnya penuh diam, mungkinkah ada perubahan dalam diam? Atau itu hanya ilusi dari akar dusta, kebanyakan hanya menerka tapi tidak tau pasti apakah ada atau tiada.
Ternyata perubahan dalam diam itu ada, tapi tidak banyak yang bisa mencoba atau bahkan menelitinya.
Tugas kamis 4 mar 2021
Comments
Post a Comment