Mengulang #1
Perasaan bertabur hancur, ngulang diabaikan. Ngulang bukan sekedar untuk sadar, tapi agar tidak terlalu hancur,
Karena semua, pasti hancur lebur digilas waktu, edotensei sekalipun.
Ia ada karena ketidakmampuannya melawan waktu, maka dibuatlah sebuah hayalan yang bisa mempermainkan waktu, nyatanya semua terkapar di depannya, kecuali pencipta waktu.
Embun sudah menguap dan hilang,
Dingin sudah pergi dari tadi,
Hangat tidak menetap sedemikian lama,
Sesal trukir jelas bersama jiwa raga
Bukan sesal bila tidak begitu jelas terukir.
Kakak pergi, berlari di bawa hari
Adik pergi, jauh ribuan kilo dari sini
Ayah pergi hingga sangat jarang kembali
Ibu menetap tapi bukan untuk kembali
Kakek telah hilang bersama angin waktu
Nenek tidak ditemukan lagi, kecuali bekas jiwanya nampak begitu jelas seperti masih bersama.
Meninjau ulang itu lebih dari asal terjang,
Ada nafsu yang harus kalah oleh akal,
Matahari memberikan contoh, hampir tiap hari,
Bulan juga pernah mengatakan "kalau belum terlatih, yang rumit butuh peninjauan ulang, bukan hanya 2-3 hari, berhari-hari seperti manusia yang kagum sinarku."
Kalau meninjau ulang sudah di kerahkan dengan segala upaya, bertanda bukan hanya kepentingan pribadi yang ada di hati,
Ada banyak kepentingan yang harus diperhitungkan, bila peninjauan ulang diremehkan, dilakukan dengan kilat, bisa jadi anggapan terhadap diri yang berkompeten menjadi salah arti,
Dari proses berjalannya hari, ada hari yang berkumpul menjadi pekan, pekan berkumpul menjadi bulan, bulan berkumpul menjadi tahun, hingga kumpulan seratus tahun disebut satu abad, untuk mendapat nama satu abad, hari harus berkumpul bersama bulan dan tahun, proses hebat yang membuat manusia bosan dan hilang lebih dulu.
Matahari, sudah sedemikan payahnya bekerja, berusaha patuh kepada pencipta,
Tapi tetap ada saja yang mencerca,
Padahal ia tak lama lagi hancur, kulit intipun sudah banyak terkelupas, ia tetap patuh meski cemooh ada saja.
Rasa ingin mengulang sangat terasa ingin dirasakan, tapi semua sudah berantakan, ada, memang benar ada yang bersembunyi dibalik budaya, ras, bahkan agama, hanya untuk menutup kemalasan, kegengsian yang ada.
Sebentar saja di kota tempat tinggal, menetap sebentar untuk berangkat lagi esok atau lusa,
Kebebasan itu tidak ada pada penolakan,
Kota tempat tinggal itu nampak tua, tapi tua wajah sudah lebih mendahului kota itu,
Kangen rasanya, mengingat kembali "dulu pernah tertawa riang, berteriak lepas, di kota lama itu.
Semua sudah berlalu terlalu jauh, tinggal mengenang saja, tentang kota lama itu,
Sudah, sudah terlalu ramai orang disana, yang berlalu lalang, kenangan masih sangat jelas trukir, kadang memaksa hadir untuk ingat semua,
Kesalahan, begitu banyak ketika diingat kembali setelah merebahkan raga setelah isya, semua tinggal sesal yang begitu mendalam dengan harap ampunan, namun tidakkan bisa saja kembali mengulang yang sudah terjadi, pengulangan yang tercela.
Ada hujan yang sama menerpa, tapi ada beda respon untuk menanggapi, satu merasa derita, yang lain merasa bahagia, padahal curah hujan yang sama ditempat yang sama,
Bulan yang sama, ditempat yang sama, membuat mereka berbeda dalam menyapa, ada yang gembira menjalani, ada juga yang merasa penuh derita,
Jumlah yang lebih banyak mengapa tidak membuat tenang, ketika jumlah itu sedikit kenapa masih juga merasa gelisah, sebenarnya ketenangan itu dimana,
Ketika masa itu ada dan datang diacuhkan,
Masa pergi jangan menggigit jari, ada dan tiada seperti tiada guna.
Comments
Post a Comment