Gue yang Lajang, Lo yang Repot, Goodbye My Friends!
Masih malu atau takut ngomong jujur soal umur? Tahun 2021, saya memasuki usia 40 tahun. Masih lajang, lho! B aja kan? Bukan apa-apa, masyarakat di negara berkode +62 ini sering melabeli macam-macam kalau ada perempuan lajang usia 40.
Misalnya, dikatain ‘perawan tua’. Atau, dibilang nggak laku. Padahal sudah tahu bahwa orang lajang bukan barang dagangan. Dan, dari pelabelan itu, kerap muncul nyinyir lanjutan yang menganggap lajang karena ‘terlalu milih-milih’.
Nih, biar semua tahu, nyinyiran bin tuduhan itu juga sungguh keji. Kalau ada yang bilang hanya bercanda, ya nggak lucu. Setidaknya ada 3 hal mengapa itu tergolong keji:
1. Membajak hak para lajang
Pada dasarnya, manusia punya kemampuan dan hak untuk memilih. Masa sih hal yang sederhana itu harus terus diingatkan? Selama ini, karena pengaruh budaya patriarki yang memposisikan perempuan sebagai objek yang menunggu dilamar, makanya nggak boleh nolak alias mesti bersyukur kalau ada yang mau jadi suami.
Tahu kan kalau menolak, apalagi nolak mentah-mentah? Dibilang terlalu milih-milih, sombong, sok cantik, hingga disumpahin bakal susah jodoh. Heh, lo yang insecure, masa perempuan yang harus tanggung jawab? Ini bicara memilih pasangan hidup lho!
Tuduhan ‘terlalu milih-milih’ tampak berusaha ingin membajak hak perempuan lajang dalam menentukan hidupnya. Gue yang lajang, kok lo yang repot, sih?
2. Pemaksaan
Gini deh, bisa jadi si perempuan lajang sudah punya kriteria sendiri soal calon pasangan hidup mereka. Perihal ini, sorry, kalian nggak berhak menuduh bahwa kriteria mereka muluk-muluk atau ketinggian. Setiap orang punya penilaian masing-masing, betul? Semisal kalian dipaksa harus mengikuti kriteria orang lain yang nggak sesuai hati, kira-kira mau nggak?
Lantas, gimana kalau kebetulan belum ada satu pun laki-laki yang menaruh hati kepada si perempuan lajang? Apa iya mesti ngemis-ngemis cinta segala? Yang ada malah makin dicela. Dibilang agresif lah, kegatelan, hingga perempuan desperate.
Ya gitu, pokoknya serba salah menjadi perempuan lajang di tengah masyarakat yang patriarkal. Pedekate duluan dibilang agresif, giliran anteng-anteng melajang hingga usia 30-40 tahun dianggap kurang usaha. Ah, dasar society!
Belum lagi, terkadang merembet ke urusan fisik, misalnya dibilang “Makanya kurusin badan”. Atau, diceletuki “Dandan dong”, “Banyakin senyum”, dan sebagainya. Ngatur-ngatur teroosss…
Lagi pula, lajang bukan berarti kesepian, kok. Ada yang berkarier, sekolah lagi, hingga asyik bersosialisasi dengan teman-temannya. Bahkan, banyak perempuan lajang yang fokus mengurus keluarga, misalnya orangtua yang sudah sepuh dan adik-adik yang masih sekolah. Kalaupun sedang aktif mencari calon pasangan, nggak perlu laporan keleus!
3. Tidak bertanggung jawab, cenderung menyalahkan
Nah, ini yang sering kali dilupakan. Karena sering menjadi korban perundungan, bisa aja perempuan lajang yang tadinya pede dan merasa baik-baik saja lama-lama down juga. Akhirnya, si perempuan lajang menjadi terburu-buru alias terpaksa memilih pasangan hidup. Kalau ternyata laki-laki tukang selingkuh, gimana? Tukang pukul? Ih, serammm…
Yakin banget deh, kalian bakalan lupa pernah memanas-manasi si perempuan lajang dengan tuduhan ‘terlalu milih-milih’. Apalagi, mau ikut bertanggung jawab. Yang ada malah menyalahkan si perempuan karena ‘kurang hati-hati’ atau ‘putus asa’. Sudah kebayang komentar julid nir-empati semacam “Makanya jadi cewek jangan bucin”.
Sebab itu, balik lagi soal hak untuk memilih. Dalam arti, sudah yakin 101% dengan pilihan sendiri, apakah itu mengenai pasangan hidup maupun tanpa pasangan. Orang-orang cuma julid aja.
Saya pun sepakat dengan pendapat ini: “Kalian nggak bisa menuduh orang terlalu milih-milih hanya karena lama melajang.
Kalian nggak tahu jalan hidup mereka, kebutuhan dan keinginan mereka, karena bukan kalian yang akan menjalani hidup mereka.”
Kurang-kurangin deh menuduh orang yang melajang, terutama perempuan lajang, sebab tuduhan ataupun pelabelan itu pun nyatanya hanya spekulatif. Daripada julid berjamaah, mending doakan mereka yang melajang agar selalu bahagia, apapun pilihannya. Elo-elo yang suka julid udah bahagia, kan?
__________________________________
Ruby Astari
Pengajar bahasa Inggris, penulis lepas, dan penerjemah lepas. Logophile sejati, karena kecanduan baca-tulis. Punya blog sendiri: http://ruangbenakruby.com (ID) dan http://rubyastari.tumblr.com (EN). FB: Ruby Astari. Twitter & IG: @rubyastari
Comments
Post a Comment